A.
Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang
dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya,
seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya.
Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict
R. O'G Anderson, kebudayaan
Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai
suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka
ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam
sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus
menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka
menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka
dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka
miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat
dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik
yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis
sebagai berikut :
a.
Budaya politik adalah aspek politik
dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya
dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai
dan norma lain.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek
generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti
sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik)
menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri
budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang
menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang
berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut
sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain
dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas
(mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas
kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan
pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman
konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu.
Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam
memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak
ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat
aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya
fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari
orientasi individual.
Pengertian Budaya Politik
Menurut Para Ahli. Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya
politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui.
Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep
tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan
rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu
politik tentang budaya politik.
a.
Rusadi Sumintapura
Budaya politik
tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap
kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
b.
Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol
ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik
dilakukan.
c.
Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan,
emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan
isu-isu politik.
d.
Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan
pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi
terhadap objek-objek politik.
e.
Gabriel A. Almond dan G. Bingham
Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang
berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang
terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam
arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan
konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih
mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih
menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap,
nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel
A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis
darisebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah
sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik
maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan
dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari
komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan
memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus
yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari
struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap
lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi
konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran
masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara
atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa
budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang
memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
B.
Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan
dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini
menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan
psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik)
dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan
psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri
masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut
Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi
kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective
oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih
komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang
klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen
obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif :
yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan
segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek
politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan.
C.
Tipe-tipeBudayaPolitik
1. BerdasarkanSikap
Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut
kerja sama yang luas untuk
memperpadukan modal dan
keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya
politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
a.
Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai
usaha mencari alternatif yang terbaik,
tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang
dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah
yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
b.
Budaya Politik Toleransi
Budaya
politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai,
berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana
selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik.
Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama.
Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi
dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
a.
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental
Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan
yang. dianggap selalu sempurna dan tak
dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian
hanya memberikan perhatian pada apa
yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik
yang bernada absolut bisa tumbuh dari
tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha
memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan
segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang
absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
b.
Budaya Politik Yang memiliki Sikap
Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka
dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat
melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai
kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap
perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap
sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya
politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan.
Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
2. Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata
memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan
karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan
memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe
yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang
berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam
masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai
berikut :
a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi
politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat
pendidikan relatif rendah).
b.
Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan
sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
c.
Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai
dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan
bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi
tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat lebih
lanjut adalah sebagai berikut.
No
|
Budaya Politik
|
Uraian / Keterangan
|
1.
|
Parokial
|
a.Frekuensi orientasi terhadap
sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, obyek-obyek output,
dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.
b.Tidak terdapat peran-peran
politik yang khusus dalam masyarakat.
c.Orientasi parokial menyatakan
alpanya harapan-harapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan
oleh sistem politik.
d.Kaum parokial tidak mengharapkan
apapun dari sistem politik.
e.Parokialisme murni berlangsung
dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik
berada pada jenjang sangat minim.
f.Parokialisme dalam sistem
politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada
kognitif.
|
2.
|
Subyek/Kaula
|
a.Terdapat frekuensi orientasi
politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek
output dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap obyek-obyek input
secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati
nol.
b.Para subyek menyadari akan
otoritas pemerintah
c.Hubungannya terhadap sistem
plitik secara umum, dan terhadap output, administratif secara esensial
merupakan hubungan yang pasif.
d.Sering wujud di dalam masyarakat
di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiansikan.
e.Orientasi subyek lebih bersifat
afektif dan normatif daripada kognitif.
|
3.
|
Partisipan
|
a.Frekuensi orientasi politik
sistem sebagai obyek umum, obyek-obyek input, output, dan
pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.
b.Bentuk kultur dimana
anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap
sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik
serta administratif (aspek input dan output sistem politik)
c.Anggota masyarakat partisipatif
terhadap obyek politik
d.Masyarakat berperan sebagai
aktivis.
|
Kondisi masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti
bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem
politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk
mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat
mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki
kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila
terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair.
Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi
tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan
warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi
politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy
atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik
yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk
terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam
politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam
masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar
warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan
kondisi ideal bagi masyarakat secara politik.
Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari
budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki
pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem
politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap
mengikuti berita-berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik
negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan
merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik.
Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan
budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif.
Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan
kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik
dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan
artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap
berjalannya sistem politik.
Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang
paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka
adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya
pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik
tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam
sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan
masalah-masalah politik.
Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa
masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam
politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak
muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu
terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik
parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan
kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat
suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika
Latin.
Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang
memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan
terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya
menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya
politik, yaitu :
a.
Budaya politik subyek-parokial (the
parochial- subject culture)
b.
Budaya politik subyek-partisipan (the
subject-participant culture)
c.
Budaya politik parokial-partisipan
(the parochial-participant culture)
Berdasarkan penggolongan atau bentuk-bentuk budaya politik di atas,
dapat dibagi dalam tiga model kebudayaan politik sebagai berikut :
Model-Model
Kebudayaan Politik
|
||
Demokratik Industrial
|
Sistem Otoriter
|
Demokratis Pra Industrial
|
Dalam sistem ini cukup banyak
aktivis politik untuk menjamin adanya kompetisi partai-partai poli-tik dan kehadiran pemberian
suara yang besar.
|
Di sini jumlah industrial dan modernis sebagian kecil, meskipun terdapat organisasi politik dan
partisipan politik seperti mahasiswa, kaum in-telektual dengan tindakan persuasif menentang sis-tem yang ada,
tetapi seba-gian besar jumlah
rakyat hanya menjadi subyek yang pasif.
|
Dalam sistem ini hanya terdapat
sedikit sekali parti-sipan dan sedikit pula keter-libatannya dalam
peme-rintahan
|
Pola
kepemimpinan sebagai bagian dari budaya politik, menuntut konformitas atau
mendorong aktivitas. Di negara berkembang seperti Indonesia, pemerintah
diharapkan makin besar peranannya dalam pembangunan di segala bidang. Dari sudut penguasa, konformitas menyangkut tuntutan
atau harapan akan dukungan dari
rakyat. Modifikasi atau kompromi tidak diharapkan, apalagi kritik. Jika pemimpin itu merasa dirinya penting,
maka dia menuntut rakyat menunjukkan kesetiaannya yang tinggi. Akan tetapi, ada pula elite yang menyadari
inisiatif rakyat yang menentukan
tingkat pembangunan, maka elite itu sedang mengembangkan pola
kepemimpinan inisiatif rakyat dengan tidak mengekang kebebasan.
Suatu pemerintahan yang kuat dengan disertai kepasifan
yang kuat dari rakyat, biasanya mempunyai
budaya politik bersifat agama politik, yaitu politik dikembangkan berdasarkan ciri-ciri agama yang cenderung
mengatur secara ketat setiap anggota masyarakat.
Budaya tersebut merupakan usaha percampuran politik dengan ciri-ciri keagamaan yang dominan dalam masyarakat tradisional
di negara yang baru berkembang.
David Apter memberi gambaran tentang kondisi politik yang menimbulkan
suatu agama politik di suatu masyarakat,
yaitu kondisi politik yang terlalu sentralistis dengan peranan birokrasi atau militer yang
terlalu kuat. Budaya politik para elite berdasarkan budaya politik agama tersebut dapat
mendorong atau menghambat pembangunan karena massa rakyat harus menyesuaikan diri pada
kebijaksanaan para elite politik.
D. Proses Sosialisasi Politik
Perkembangan sosiologi politik diawali pada masa kanak-kanak atau remaja.
Hasil riset David Easton danRobert Hess mengemukakan
bahwa di Amerika Serikat, belajar politik dimulai pada usia tiga tahun dan
menjadi mantap pada usia tujuh tahun. Tahap lebih awal dari belajar
politik mencakup perkembangan dari ikatan-ikatan lingkungan,, seperti “keterikatan
kepada sekolah-sekolah mereka“, bahwa mereka berdiam di suatu daerah
tertentu. Anak muda itu mempunyai kepercayaan pada keindahan
negerinva, kebaikan serta kebersihan rakyatnya. Manifestasi ini diikuti
oleh simbol-simbol otoritas umum, seperti agen polisi, presiden, dan
bendera nasional. Pada usia sembilan dan sepuluh tahun timbul kesadaran
akan konsep yang lebih abstrak, seperti pemberian suara, demokrasi, kebebasan
sipil, dan peranan warga negara dalam sistem politik.
Peranan keluarga dalam sosialisasi politik sangat penting. Menurut Easton dan Hess, anak-anak
mempunyai gambaran yang sama mengenai ayahnya dan presiden selama
bertahun-tahun di sekolah awal. Keduanya dianggap sebagai
tokoh kekuasaan. Easton dan Dennis mengutarakan
ada 4 (empat) tahap dalam proses sosialisasi politik dari anak, yaitu
sebagai berikut.
a. Pengenalan otoritas melalui individu tertentu, seperti orang tua
anak, presiden dan polisi.
b. Perkembangan pembedaan antara otoritas internal dan yang ekternal,
yaitu antara pejabat swasta dan pejabat pemerintah.
c. Pengenalan mengenai institusi-institusi politik yang impersonal, seperti
kongres (parlemen), mahkamah agung, dan pemungutan suara (pemilu).
d. Perkembangan pembedaan antara institusi-institusi politik dan mereka
yang terlibat dalam aktivitas yang diasosiasikan dengan
institusi-institusi ini.
Suatu penelitian secara khusus telah dilakukan guna menyelidiki
nilai-nilai pengasuhan anak yang dilakukan oleh berbagai generasi orang
tua di Rusia. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut :
1. Tradisi; terutama agama, tetapi juga termasuk ikatan-ikatan kekeluargaan dan tradisi
pada umumnya
2. Prestasi; ketekunan, pencapaian/perolehan, ganjaran-ganjaran material
mobilitas sosial.
3. Pribadi; kejujuran, ketulusan, keadilan, dan kemurahan hati.
4. Penyesuaian diri; bergaul dengan balk, menjauhkan diri dari kericuhan,
menjaga keamanan dan ketentraman.
5. Intelektual; belajar dan pengetahuan sebagai tujuan.
6. Politik; sikap-sikap, nilai-nilai, dan kepercayaan berkaitan dengan
pemerintahan
Sosialisasi
politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
proses dengan jalan mana orang belajar tentang politik dan mengembangkan
orientasi pada politik. Adapun sarana alat yang dapat
dijadikan sebagai perantara/sarana dalam sosialisasi politik, antara lain :
1)
Keluarga (family)
Wadah
penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif
adalah di dalam keluarga. Di mulai dari keluarga inilah antara orang tua dengan
anak, sering terjadi “obrolan” politik ringan tentang segala hal,
sehingga tanpa disadari terjadi tranfer pengetahuan dan nilai-nilai politik
tertentu yang diserap oleh si anak.
2)
Sekolah
Di sekolah
melalui pelajaran civics education (pendidikan
kewarganegaraan), siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi
dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik
teoritis maupun praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan
awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang
benar dari sudut pandang akademis.
3)
Partai Politik
Salah satu
fungsi dari partai politik adalah dapat memainkan peran sebagai sosialisasi
politik. Ini berarti partai politik tersebut setelah merekrut anggota kader
maupun simpati-sannya secara periodik maupun pada saat kampanye, mampu
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Partai politik harus mampu men-ciptakan “image” memperjuangkan
kepentingan umum, agar mendapat dukungan luas dari masyarakat dan senantiasa
dapat memenangkan pemilu.
Khusus pada
masyarakat primitif, proses sosialisasi terdapat banyak perbedaan.
Menurut Robert Le Vineyang telah menyelidiki sosialisasi di
kalangan dua suku bangsa di Kenya Barat Daya: kedua suku bangsa tersebut
merupakan kelompok-kelompok yang tidak tersentralisasi dan sifatnya patriarkis.
Mereka mempunyai dasar penghidupan yang sama dan ditandai ciri
karakteristik oleh permusuhan berdarah. Akan tetapi, suku Neuer
pada dasarnya bersifat egaliter (percaya semua orang sama derajatnya) dan
pasif, sedangkan suku Gusii bersifat otoriter dan agresif. Anak dari masing-masing
suku didorong dalam menghayati tradisi mereka masing-masing.
Pentingnya Sosialisasi
Pengembangan Budaya Politik
Masalah
sentral sosiologi politik dalam masyarakat berkembang ialah menyangkut
perubahan. Hal ini dilukiskan dengan jelas oleh contoh negara Turki, di
mana satu usaha yang sistematis telah dilakukan untuk mempengaruhi maupun
untuk mempermudah mencocokkan perubahan yang berlangsung sesudah Perang
Dunia Pertama. Mustapha Kemal (Kemal Ataturk) berusaha
untuk memodernisasi Turki, tidak hanya secara material, tetapi juga
melalui proses-proses sosialisasi. Contoh yang sama dapat juga dilihat
pada negara Ghana.
Menurut Robert Le
Vine, terdapat 3 (tiga) faktor masalah penting dalam sosialisasi
politik pada masyarakat berkembang, yaitu sebagai berikut :
a. Pertumbuhan penduduk di negara-negara berkembang dapat
melampaui kapasitas mereka untuk “memodernisasi” keluarga tradisonal lewat
industrialisasi dan pendidikan.
b. Sering terdapat perbedaan yang besar dalam pendidikan dan
nilai-nilai tradisional antara jenis-jenis kelamin, sehingga kaum wanita
lebih erat terikat pada nilai tradisonal. Namun, si Ibu dapat memainkan
satu peranan penting pada saat sosialisasi dini dari anak.
c. Adalah mungkin pengaruh urbanisasi, yang selalu dianggap
sebagai satu kekuatan perkasa untuk menumbangkan nilai-nilai tradisional.
Paling sedikitnya secara parsial juga terimbangi oleh peralihan dari
nilai-nilai ke dalam daerah-daerah perkotaan, khususnya dengan pembentukan
komunitaskomunitas kesukuan dan etnis di daerah-daerah ini.
BAB III
KESIMPULAN
Budaya politik merupakan sistem
nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur
masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya.
a.
Budaya politik adalah aspek politik
dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos.
b. Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek
generiknya.
c. Hakikat dan ciri budaya politik yang
menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang
berhubungan dengan masalah tujuan.
d. Bentuk budaya politik menyangkut
sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain
dalam pergaulan masyarakat.
Budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik
sebagai berikut.
a. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada
politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
b. Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya,
para aktor dan pe-nampilannya.
c.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek
politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan
informasi dan perasaan.
Tipe-tipeBudayaPolitik
1.
BerdasarkanSikap Yang Ditunjukkan
a. Budaya
Politik Militan
b. Budaya
Politik Toleransi
c. Budaya
Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
d. Budaya
Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
2. BerdasarkanOrientasiPolitiknya
a. Budaya
politik parokial (parochial political culture)
b. Budaya
politik kaula (subyek political culture)
c. Budaya
politik partisipan (participant political culture)
DAFTAR FUSTAKA
1.
Amir Taat Nasution, “Kamus Politik Nasional”, Energie,
1953
2.
Arbi Sanit, “Sistem Politik Indonesia: Penghampiran
dan Lingkungan”,
3.
Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial & FIS-UI, 1980
4.
Assosiasi Ilmu Politik Indonesia, “Jurnal Ilmu
Politik”, Gramedia, 1986
5.
Theda Scokpol, “States and Social Revolutions” New
York: Cambridge
6.
University Press, 1979
7.
Mariam Budiarjo, dkk, “Dasar-dasar ilmu Politik”, Gramedia,
2003
8.
http://www.scribd.com/doc/40391159/budaya-politik
9.
http://www.scribd.com/doc/75545809/budaya-politik
10. http://www.slideshare.net/ainulyaqinelirjaz/savedfiles?s_title=makalah-budaya-politik&user_login=septianraha
Comments
Post a Comment